09 November 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ya Rabb Semoga Kami di golongkan menjadi Hamba2-Mu yang senantiasa tunduk dan patuh hanya kepada Engkau, Amiin
Fungsi – fungsi Keindahan Modern dalam Seni Mushaf Al Qur’an
Seni kaligrafi Arab, iluminasi manuskrip, dan seni membuat buku merupakan salah satu form seni Islam yang akrab di masyarakat. Setiap seniman kaligrafi, teristimewa jika berhubungan dengan Al-Qur’an, pastilah akan berupaya guna mengungkapkan rasa hormatnya dengan jalan memperindah karya tersebut dengan maupun tanpa ornamen melalui sekian wujud dan strata kualitas teknik, material, dan unsur perupaan lainnya. Sebab pendorongnya antara lain adalah karena adanya keniscayaan bahwa Al-Qur’an itu indah karena ia Illahiah, sementara Allah itu sendiri selain mempunyai nama – nama yang indah ( Asmaa ul Husna QS. 7 Al – A’ Raf : 180 ), Dia juga Indah dan menyukai keindahan ( HR. Ahmad ). Al – Qur’an juga dipandang suci karena otentik berasal dari Yang Maha Suci, maka sudah menjadi ketentuan bahwa seorang penulis kaligrafi Al – Qur’an akan dalam keadaan wudhu dan cermat ketika menggoreskan kalamnya agar terhindar dari kesalahan. Oleh sebab itulah, naskah Al – Qur’an dan berbagai produk turunannya wajib mendapat pengawasan dan pensyahan dari lembaga yang berwenang, semisal Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI.
Meskipun Allah sendiri menjaminnya, namun adab penulisan ini adalah hal pokok dan mutlak dalam Al – Qur’an dan ini biasanya kompleks, sebab berhubungan dengan segi bacaan dan pemaknaannya yang sama sekali tidak memberikan toleransi kesalahan sedikitpun terutama demi menjaga keotentikan sejarah proses pewahyuan, pengkodifikasian dan nilai kesuciannya tadi, sehingga ada anggapan bahwa seni yang menduduki tempat yang sangat tinggi dalam seni Islam adalah seni kaligrafi. Alasan lain adalah, kaligrafi dipandang sebagai medium yang paling mutlak untuk prinsip abstraksi, yaitu sebagai bentuk yang sebagaimana halnya geometri, ia tidak berkaitan dengan peniruan obyek apapun.
Setiap goresan khat dalam format standar Utsmani oleh khattat sejak sketsa hingga finshing akan ditempatkan secara cermat pada bidang kosong dan menyisakan bidang kosong lain secara proporsional sesuai konsep perancangannya serta untuk memberi ruang bagi ekspresi dan tujuan lain semisal ruang untuk tanda – tanda baca. Karena ekistensi goresan yang sarat dengan nilai perenungan inilah, maka bagi khalayak yang terlatih, ruh sang seniman dapat terbaca melalui kekhidmatan yang tercermin dari goresannya tadi, bahkan pribadi dan identitas seniman dapat diketahui melaluinya yang mengingatkan kita pada teori signature : the style is the man.
Entah itu goresan bergaya naskhi, tsulusti, dewani, maupun kufik, yang berujung pada identifikasi yang lebih spesifik, semisal naskhi gaya si ‘A’, tsulusti gaya si ‘B’, dsb. Dalam kajian sejarah atau morfologi seni, gaya seseorang tersebut bahkan bisa terangkat menjadi ruh bagi komunitasnya, bahkan menjadi ruh zamannya, dinastinya. Lalu bagaimana peran seni hias dalam menyikapi nilai – nilai diatas?
Naskah dan hiasan Al Qur’an umumnya crafty, berawal dari keterampilan tangan ( manual dexterity ), dengan peralatan kalam, dan bahan tinta yang dirancang khusus, bahkan tidak sedikit di antaranya menggunakan emas murni 24 karat berupa serbuk ( powder ) ataupun lembaran ( leaf ).
Di luar masalah tulisan tadi namun pola pikirnya sama, terdapat masalah lain yang terkadang sulit dipisahkan dan amat menentukan sebagai pembangkit keindahan secara keseluruhan, yaitu ornamentasi. Bahkan beberapa sektor di dalamnya berfungsi cukup signifikan sehubungan dengan adab dan tujuan utama penulisan, yaitu sektor rupa yang sudah mengemban tugas sebagai tanda dan bahasa rupa, makna dan pemaknaan. Dalam konteks ini, seni telah bergeser ke masalah konsep ( content ) dan kajian seni sebagai fungsi, yang dalam filsafat seni timur ( Indonesia ) berakar pada istilah kagunan.
Dan ini sesuai dengan filsafat seni Islam yang menyandarkan nilai seni pada asas manfaat atau hikmah, masalah etik dan estetik. Karenanya, dalam hal yang satu ini, suatu form utuh dan ideal dalam seni mushaf modern seringkali harus melibatkan keahlian lain di luar ahli mengenai khat, yaitu seumpama kooperasinya dengan seniman atau perancang rupa, ahli tashih, bahkan dengan ahli komputer, para artisan, dan ahli lain yang menyangkut material, teknik dan proses cetak, dsb. Jadi unsur – unsur pengindah diluar masalah pokok tata tertib penaskahan, bisa saja dirancang dan dilakukan oleh seniman atau ahli lain melalui sekian gerak penelitian dan gubahan ahli pola hias yang sangat beragam baik karakteristik sumber ide, olah bentuk, olah meterial, teknik, sistem perulangan, komposisi warna, maupun lay – out dan sistem koreksinya, sehingga sebagai obyek dekoratif ia dapat mencapai taraf idealnya tadi, baik secara hirarkis, historis, ekses estetis, dan redefinisi bentuk dalam kaitannya sebagai obyek seni fungsional :…pada prakteknya definisi ‘decoration’ bersifat khusus dan berlaku secara kultural. Berdasarkan pengamatan terhadap sejarah peradaban dunia, peneliti sekaligus pembela ragam hias Oleg Grabar, justeru yakin bahwa di beberapa masyarakat yang justeru terpelajar, muncul kesepakatan untuk memahami pekerjaan menghias sebagai suatu cara yang ditujukan untuk menjadikan benda yang dilengkapi dengan dekorasi tersebut menjadi sempurna, artinya bukan hanya sekedar mengisi bidang kosong, melainkan juga memberi makna obyek tersebut secara keseluruhan ( Oleg Grabar, dalam Rizky A Zaelani, Ikatan Silang Budaya, 60 – 61 ). Dalam hal ini kita tentu sepakat, terlebih jika kita amati berbagai peradaban besar dunia semisal Mesir, Mesopotamia, hingga ke era terobosan mentalitas zaman aksial ( achsenzeit, zaman poros ) dimana terdapat kebudayaan India, Cina, Israel, hingga Islam di Byzantium, Turki, hingga ke Yunani dan Eropa masalah ragam hias ini justeru menjadi ekspresi dan simbol kebudayaan mayornya yang lalu menginspirasi wilayah lain, seperti Korea, Jepang, Filipina, dan lain – lain, termasuk Indonesia. Tak mengherankan jika ada yang berpendapat bahwa peradaban dan seni besar umumnya lahir dari agama – agama besar pula.
Di luar form dan gaya yang membicarakan masalah ciri dan identitas ini, banyak kasus dimana ragam hias dikaitkan juga dengan daya mitos pra-Islam, yang apabila unsur ragam hias tersebut dicabut dari suatu obyek semisal motif parang pada batik atau relief Borobudur, maka obyek tersebut akan kehilangan jiwa ( ruh ) dan identitas tuahnya. Jadi, ragam hias dapat memasuki wilayah material fisik ( tangible ) maupun psikis ( intangible ), teknik, makna serta emosi, bahkan hingga ke tahap yang paling tinggi yaitu religi, seni untuk ibadah, seni sebagai semangat agama yang menjauhkannya dari praktik – praktik syirik.
Eksistensi ornamen dapat berimplikasi secara positif maupun negatif. Sehubungan dengan bahasan Art in Everyday Life, Graham Hopwood a.l menuturkan bahwa selain memenuhi prinsip desain seperti unity, proportion, balance, harmony, contrast, rhythm, dan simplicity, karya itu harus memenuhi functional fitness yaitu, pertama, properly fulfil its purpose, dan kedua, karya itu haruslah please the eye, baik berkaitan dengan bentuk, garis, proporsi, balans, warna, tekstur, atau keindahan yang dapat menggerakkan emosi ( h : 147 ). Oleh sebab itu, dapat kita katakan gejala seni mengandung prinsip – prinsip umum dan inner logic, dan ini ditentukan oleh corak masyarakatnya yang tidak lepas dari hukum – hukum kebudayaan dan kemasyarakatan, semisal kita kenal istilah tradisi dan kontemporer atau pasang surut yang dari segi cara pandang, pengaruh, ethos, rupa dan coraknya bisa memperlihatkan kebaruan, keusangan, kemandegan, atau kombinasi dari gaya dan rupa sebelumnya, seperti ketika Islam masuk ke Indonesia, dimana ada asimilasi, ada akulturasi dalam banyak hal, ada yang menjadi artefak - statis, ada pula yang terus hidup dan dinamis (a living tradition ). Korelasi dan konsekuensinya adalah memahami ornamen juga membutuhkan penguasaan dasar – dasar estetik disebut tadi ditambah kaitannya dengan kualita pencerapan ( senses ), dan bagaimana korelasi perwujudannya ( form ) dengan bingkai kekhasan di setiap lingkup budaya dan sub-budayanya agar sampai pada tingkat memahami makna dan pesan ( meaning, content ), dan manfaat atau fungsi ( useful, function, utility ) yang dalam hal ini masuk ke kajian yang lebih komprehensif. Gunanya adalah a.l untuk memahami kaidah keindahan yang melandasi karya seni tersebut dengan cara didekati dari arah “ dalam. “ ( Wolffin, Hauser, dan Edy, kutipan bebas dalam Edy : 7-8 ). Sehingga seni sebagai obyek juga harus dilihat juga peran dan misinya sebagai faktor pencerahan fisik maupun psikis manusia dan kebudayaannya : Aesthetik, kini tidak lagi hanya berbicara persoalan persepsi indrawi manusia dan persoalan obyek fisik semata, melainkan meluas meliputi juga tentang sesuatu yang benar, yang teratur, yang tertata hirarkinya, yang bagus, yang indah, yang berguna ( Widagdo, 2006 : 6 ). Jadi, estetik itu menyangkut rightness, truth, order, system, goodness, beautiful, dan useful.
Estetika Qur’ani
Kajian seni merupakan kajian filsafat ( estetika ). Mengingat seni dipandang juga sebagai wujud kebudayaan, maka berbicara tentang seni Islam haruslah berbicara tentang filsafat seni Islam dan kebudayaan Islam yang sumbernya merujuk kepada Al – Qur’an. Jika dikatakan bahwa kebudayaan Islam adalah kebudayaan Al-Qur’an, maka logis jika disimpulkan bahwa seni Islam adalah seni Qur’ani. Aspek peradaban Islam ini dapat dipandang bersifat Qurani dalam basis dan motivasinya, dalam implementasi dan sasarannya. Begitu juga seni peradaban Islam harus dipandang sebagai ungkapan estetis yang asal – usul realisasinya sama. Ya, seni Islam sungguh merupakan seni Qurani. ( Isma’il R. Al - Faruqi, h. 196 ). Sebab tanpa adanya wahyu ( Al Qur’an : kalam, bacaan ), maka mustahil juga adanya agama Islam, filsafat Islam, ekonomi Islam, seni Islam, dll. termasuk ornamen atau ragam hias Islam, dimana kekhasannya bermuara dan berhilir kepada nilai – nilai Tauhid : Bila keindahan itu ditanggapi adalah menjadi kelaziman dicintai dan jika sudah menjadi kepastian bahwa Tuhan Itu Indah, Dia mesti dicintai karena Keindahan-Nya dan Keagungan-Nya telah ditunjukkan melalui Karya – karya-Nya yang juga Maha Artistik ( Beg 1981, 49 – 50, dalam Dzul Haimi bin Md. Zain : 3 ). Sehingga logis bila terdapat konklusi bahwa : Seniman muslim berusaha menampilkan cita ke – Esa-an Tuhan dalam karya seninya ( M. Abdul Jabbar Phd, h. 1 ).
Apabila demikian jelaslah, bahwa sesuai dengan hakikat ajarannya, maka Al – Qur’an merupakan suatu landasan seni hakiki dimana diajarkan pula tentang pentingnya aspek penalaran ( reasoning ) di samping masalah faith sebagaimana kita tangkap esensi dan implementasi di balik wahyu pertama ( QS. al- ‘Alaq ) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw pada malam 17 Ramadhan ( 6 Agustus ) 610 M. Jadi, apabila di atas telah disinggung tentang masalah mitos, tahyul, dan segala sifat yang meragukan maka jelas hal ini dilarang oleh konsep Tauhid sekaligus dianggap sebagai musuh peradaban.
Itulah alasan mengapa di dunia Islam lahir ilmu – ilmu mind power seperti aljabar, geometri, astronomi, atau seni arabesque sang peletak dasar transendensi ( aqidah, syari’ah, hikmah, dan akhlaq ) tujuan seni dalam Islam sebagai media para khalifah Allah dalam mencari ridho – Nya, kebahagiaan dunia – akhirat, dan rahmat bagi lingkungannya yang secara konsepsi amat berbeda dengan fluktuasai konsepsi seni barat yang pernah menggelorakan jargon ornamen is crime, less is more, horror vaqui, dan stratafikasi sebagai karya kitsch terhadap ornamentasi. Pendek kata seni dalam peresepsi Islam adalah sebagai ekspresi ruh, budaya sekaligus refleksi pandangan hidupnya ( Endang S Anshary : 69 ).
Sebagai mahluk estetik yang mempunyai fitrah will to form, otoritas seniman muslim akan tunduk pada sifat keterbatasannya di mata yang Maha Tak Terbatas sebagai cermin amal salih yang dituntun oleh Al – Qur’an sebagai bekal pertanggungjawabannya kelak. Barangkali inilah apa yang dimaksud Prof. Achmad Sadali mengenai teorinya tentang three quest atau 3 ( tiga ) dambaan dasar manusia yang dalam proses implementasi dan kreasinya berprinsip pada ulil al bab ( QS. Ali Imran : 190 – 191 ) sehubungan dengan hakikat kebenaran melalui iptek, keindahan melalui seni, serta kebaikan dan kebenaran melalui agama, yaitu mampu memanfaatkan segala sarana dengan sebaik – baiknya, namun mampu juga mempertanggungjawabkannya di hadapan Yang Maha Pencipta.
Peradaban manusia menunjukkan, bahwa seni ( art ) bukan hanya sekedar pelampiasan ekspresi rasa saja, tetapi juga merupakan bagian perwujudan karya – karya fisik fungsional seperti kita lihat dalam konteks antropologi budaya, dapat kita ambil contoh misalnya karya tembikar, arsitektur, dan kerajinan, karya keterampilan praktis yang melibatkan unsur estetik di dalamnya. ( Sachari 11 ).
Fungsi Keindahan Ragam Hias dalam Seni Mushaf Al – Qur’an
Ragam hias dipandang sebagai sumber kajian yang dinilai masih kaya dengan artefak peradaban, sehingga untuk kepentingan keilmuan dan sikap kreatif, sumur ragam hias tidak akan pernah kering. Apalagi kini terdapat kecenderungan sumbangsih keilmuan arkeologi dan antropologi terhadap seni akibat banyaknya temuan yang memperlihatkan keterlibatan unsur seni, termasuk seni hias dalam berbagai benda fungsionalnya, yang menurut Mamannoor ( 128 ) memperlihatkan adanya suatu proses interaktif antara seniman dengan lingkungan, dengan kata lain didalam ragam hias sudah terdapat konsep produk sosial atau kebudayaan dalam dirinya, perpaduan antara kreatifitas personal dan kreatifitas kultural. Di dalamnya juga terdapat manifestasi perseorangan yang menyangkut kepentingan – kepentingan kebudayaan.
Inilah yang telah membingkai perupa sebagai insan kebudayaan dan menjadikan kebudayaan sebagai medan pergaulan, permainan, medan produksi, dan medan ilham.
( Mamannoor : 128 ). Bisa di tafsirkan, bahwa artefak kebudayaan adalah pemancar sinyal – sinyal, sementara seniman mempunyai antena penangkap sinyal – sinyal tersebut. Secara lebih lanjut, Prof. Conny Semiawan, dari sumber yang sama mengatakan : Pernyataan tertinggi dari kreatifitas manusia adalah kreatifitas individu yang berkontribusi pada penemuan – penemuan besar yang membangkitkan kebudayaan atau kualitas kehidupan manusia ( 128 ), sehingga karya seni tidak berhenti pada masalah apresiasi dan penafsiran, namun juga terhadap konsekuensi ipoleksosbud, termasuk konsekuensi psikologis, teori desain, falsafah kebendaan, nilai – nilai estetik, pendidikan desain, sejarah artefak, gaya hidup, dll.
Jika demikian, kebudayaan itu selalu ditujukan kepada nilai kebaikan, kearifan, kecendikiaan, keindahan, keselarasan, bahkan keimanan atau kepercayaan. Sehingga dalam mencapai kriteria ideal tadi, salah satu wujudnya baik berupa karya seni, desain, maupun kriya senantiasa bergerak kearah dimana fluktuasi kebudayaan manusia itu berlangsung, dan ini sangat tergantung pola dan intensitas pergaulan individu maupun kelompok tertentu yang juga masing – masing senantiasa berupaya meraih idealisme – idealisme kebudayaannya.
Salah satu penjelasan seni dilihat sebagai simbol atau ungkapan dari Tauhid adalah ekspresi yang memisahkan Tuhan dari segenap alam ciptaan – Nya. Tuhan bukanlah ciptaan, jadi Dia sama sekali bukan alam ciptaan. Tuhan-lah satu – satunya yang transenden. Seni di dalam Islam merupakan pembacaan dalam alam dari esensi yang bukan alam. Dengan demikian, obyek alam dengan sendirinya akan tersingkir juga secara jauh ( penyangkalan dari alam ) yang kelak akan berdampak pada sekian wujud yang hampir – hampir tidak dapat dikenali lagi.
Inilah yang disebut sebagai stilasi atau abstraksi dalam seni Islam demi pelepasan diri dari kemungkinan kesalahan mengartikan mahluk sebagai pencipta seperti pernah terjadi di masa sebelumnya ( pra- Islam ).
Disinilah juga letak kekhasan seni Islam, suatu kekhasan yang melepaskan dirinya dari figur – figur yang dapat membatasi Hakekat yang justeru tidak terbatas tadi, seperti misalnya kita lihat pada seni arabesque sebagai seni yang memperlihatkan struktur yang tak terbatas, menyambung dan berkembang ke segala arah. Pendek kata, karya seni muslim bagaimanapun adalah seni abstrak. Tema tumbuhan, hewan, bahkan manusia digambarkan sedemikian rupa seolah menafikan kemahlukannya sekaligus juga menafikan adanya intisari supranatural ( adialami = syirik ) di dalamnya ( al – Faruqi, h. 126 ). Jadi form seni apapun, sejauh hal itu tidak bertentangan dengan prinsip di atas dapat dianggap sebagai seni Islam, meski seniman pembuatnya bukanlah seorang muslim atau apa yang kita sebut sebagai seni yang melihat hasil akhir sebagai tolok ukur penilaian ( object d’ art ). Wajarlah jika hal itu turut menjadi nafas di dalam rentang sejarah benda seni fungsional aneka material seperti perkakas, senjata, perwadahan, sajdah, permadani, porselen, busana, kitab – kitab, furnitur, peralatan navigasi, dll.
Korelasi dengan teori seni modern, misalnya bersinggungan dengan pengkajian makna istilah dan konsep – konsep yang berkenaan dengan seni sebagai bentuk, ekspresi, ilusi, jarak estetik, mind, kesenangan, simbol, keindahan, emosi, fungsi, penyadaran, dll ( Melvin Rader dalam Yustiono 3 – 4 ). dimana dalam perkembangan seni Islam berikutnya, melanjutkan Yustiono, juga dapat kita tarik ke berbagai sub kajian filsafat dan teori seni, sementara secara estetika empiris pada karya seni, melahirkan disiplin kritik seni, morfologi estetik, dan semiotik. Sedangkan estetika empiris di bidang kegiatan manusia dan seni melahirkan sejarah seni, antropologi seni, sosiologi seni, psikologi seni, manajemen seni, hermeneutika ( penafsiran ) seni.
Kompleksitas ini bukanlah rekaan apabila dalam perkembangannya kita sadari betapa banyak seni – seni Islam yang justeru diinspirasi oleh form seni lain di luar komunitas muslim sepanjang dipandang sesuai dengan aspirasi Islam, semisal pengaruh Byzantium, Coptic, Romawi, Yunani, hingga ke geometri Euclides, golden section, hukum simetri, proporsi termasuk berbagai penggayaan format manuskrip, bentuk kubah dalam arsitektur Islam dan seni lain yang jika memakai istilah sekarang seni Islam tidaklah rentan terhadap eklektisme.
Contoh arabesque adalah metamorfosis bentuk dari kekosongan lalu ke titik lalu ke garis lalu ke lingkaran lalu ke segi tiga kemudian menjadi polygon – polygon dalam persepsi 2 dan 3 dimensi hingga berkembang menjadi sekian turunan formasi yang berkesan tidak berbatas, tidak berawal dan tidak berakhir dst.
Hal ini di dalam konteks seni Islam fenomena ini dipandang sebagai simbol dari dari tiada menjadi ada dan itu bersifat tak terbatas ( transenden = Tuhan ) tadi.
Prinsip – prinsip Geometri ini adalah asasi dalam seni Islam karena diyakini sebagai salah satu seni yang tidak berpotensi meniru obyek apapun seperti halnya kaligrafi.
Justeru di geometri inilah juga terdapat nilai – nilai keseimbangan dan simetri yang amat didambakan oleh setiap muslim seperti nampak pada Taj Mahal maupun The Dome of Rock. Dalam hal proses kreasi sesuatu yang telah menjadi mental image seperti ini, dapat saja hanya sekedar semi processed guna menjangkau alternatif perupaan lainnya.
Apa yang kita singgung di atas nampak juga pada seni ornamen di luar geometri. Fungsi ornamen dalam seni Islam, selain menyangkut fungsi keindahan juga berfungsi terhadap masalah keyakinan yang kemudian melebar ke masalah gaya dan penggayaan serta tujuan baik secara geografis, kedinastian, pengaruh lokal, teknik pembuatan dan rincian di seputar masalah olah motif, komposisi, dll. atau dalam pengertian sebagai konsep desain yang khas dan unik, dimana terdapat nilai estetik yang juga khas dan menjadi salah satu tolok ukurnya secara masing – masing.
Dari konteks nilai estetik ( keindahan ), ornamen Islam memperlihatkan selain gejala prinsipil di atas, juga mengandung fungsi guna menyenangkan indera visual, sedap dipandang mata ( please the eye ). Fakta – faktanya dapat kita amati dan hayati baik secara keseluruhan maupun secara bagian per bagian. Misalnya pada nilai – nilai kesimetrian, entitas, bentuk, pola ulang, tata warna, keberagaman tema, keterjalinan, kerumitan, ketelitian, ketersatuan, dan ketekunan – keahlian ( craftmenship ) dsb.
Sehingga oleh para ahli sejarah seni disimpulkan a. l bahwa keindahan masing - masing form seni Islam, selain di pengaruhi aspek kewilayahan tadi, ditentukan pula oleh 3 ( tiga ) faktor utama, yaitu teknik, material, dan motif, seperti kita saksikan fenomena keindahan dan kekhasan di wilayah Afrika Utara, Tengah, maupun Barat, lalu Turki, Iran dan Asia Tengah, hingga ke India dan wilayah yang lebih ke timur lagi seperti Cina dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sehingga banyak ahli melihat kedekatan Turki dengan bunga tulip, melati dengan Indonesia kubah bawang dengan India, buah mangga dengan Iran dan Asia Tengah. Khusus mengenai Indonesia, a.l disinggung :Asia Timur dan kedekatannya dengan kesamuderaan, misalnya memperlihatkan kedekatan bentuk dengan citera beralun dan bergelombang dengan sentuhan yang mengingatkan kita pada bentuk – bentuk yang relevan seperti bentuk haluan kapal. Bahkan bentuk tumbuhan dan hewan digubah dengan nada aliran dan gelombang tadi. Kekayaan tumbuhan di tempat seperti Malaysia, Indonesia, dan Filipina Selatan ikut membentuk dan menggairahkan goresan motif tumbuhan yang mencirikan ornamentasi produk seni wilayah itu. ( al – Faruqi 418 )
Seluruh keluarga muslim dapat dipastikan senantiasa menyimpan dan membaca Al – Qur’an, dan ini sangat erat dengan istilah di awal tulisan, yaitu mengenai seni membuat buku ( kitab ), yang tidak terlepas dari sejarah yang menyelidiki seputar kelahiran dan kodifikasi lembaran naskah ( suhuf ) Al – Qur’an menjadi sebuah mushaf yang terbaca, tertata secara benar, lengkap, seragam, diterjemahkan, dan terjilid. Lalu mengapa Al – Qur’an atau surah – surahnya itu selalu diupayakan untuk tampil dalam format yang indah? Selain karena alasan yang telah dipaparkan di atas, seni ini sering dihubungkan dengan istilah iluminasi manuskrip.
Istilah iluminasi ( illumination = cahaya, sinar ) dapat kita jumpai dalam berbagai kamus, jenis ejaan dan pengucapan. Penggunaannya bisa denotatif bisa konotatif. Yang jelas istilah ini sudah disepadankan sebagai salah satu istilah dalam karya – karya yang berhubungan dengan hiasan atau dekorasi naskah – naskah, termasuk dipakai untuk naskah – naskah di luar naskah – naskah Islami. Dalam dunia Islam sendiri istilah ini bisa dipandang kontekstual dan relevan, mengingat hal ini bisa dikaitkan dengan salah satu surah yang ada di dalamnya ( surah An- Nur ), atau istilah nur ( cahaya ) yang sering disinggung dalam Al – Qur’an, baik ketika merujuk kepada Nabi Muhammad saw, maupun merujuk kepada Al ‘ Qur’an itu sendiri yang sering diartikan atau dianalogikan bahwa nur itu berarti penerang bagi kesadaran, kabar, keterangan, petunjuk, hukum ketetapan, dll.
Atau identik secara penafsiran dengan siapa yang membawakannya ( Nabi Muhammad saw ). Jika dikatakan oleh Dr. Quresyi bahwa seni bangunan Islam itu penuh cahaya karena didirikan untuk memasukkan cahaya, maka pendapat ini akan sesuai dengan pandangan ahli – ahli lain yang menghubungkan istilah nur ini dengan pandangan hidup Islam.
Bahkan Allah sendiri mengibaratkan Diri-Nya melalui Cahaya, sebagai Cahaya di atas segala cahaya dan menyebut istilah cahaya kepada orang yang diberi petunjuk ( Al - Qur’an atau Nabi Muhammad ? ) dan bagi orang yang dikehendaki – Nya, yang bertasbih, yang menyucikan nama - Nya ( QS. An – Nur 24 : 35, 36, 37 ), sehingga ada pendapat yang mengatakan bahwa pandangan hidup Islam memberi tempat yang menonjol terhadap cahaya. Cahaya inilah yang membentuk visi dan misi lahiriah, moral, dan spiritual sehingga membentuk pandangan dan kebijaksanaan tidak hanya mengenai kehidupan di dunia, melainkan juga kehidupan di akhirat kelak. Pengejawantahan dari konsepsi luhur inilah yang nampak pada arsitektur dan seni dekorasi Islam dalam konsep lahiriahnya. : Islam itu menjauhi kegelapan, dan itu nampak dari hasrat seni hias sebagai jantung dalam seni Islam. ( M. Abdul Jabbar, h. 16 ) dan sebagai bahasa rupa untuk isyarat nur, iluminasi manuskrip memanfaatkan berbagai bentuk yang memperlihatkan efek visual sebagai pancaran sinar, suatu bukti kehadiran unsur ornmentik yang tidak mubazir.
Indonesia yang mengalami banyak pengaruh luar, memposisikan seni Islam-nya sebagai perpanjangan dari tradisi menghias yang sudah ada sebelum Islam masuk lalu melakukan berbagai penyesuaian – penyesuaian. Namun, jika geometri Islam kita fahami bersumber kepada matematis rasional, maka dasar dan visi geometri Indonesia terbentuk dan berbasis pada pola tenun dan anyaman yang telah sekian lama mentradisi, di tambah dengan kecenderungan lain yang imaginatif – simbolis khas masyarakat agraris, seperti nampak pada iluminasi Al – Qur’an Kyai Kanjeng Yogyakarta, maupun karya Syekh al – Banjari, Kalimantan Selatan.
Meskipun hingga kini khalayak telah menyaksikan sekian ragam wajah rupa dan perupaan seni mushaf Al – Qur’an baik menyangkut khat, maupun iluminasinyatata warna, namun sejauh mana peran ragam hias Indonesia yang melimpah ini dapat berperan didalam tradisi menulis dan mencetak Al Qur’an di Indonesia ? Barangkali inilah yang belum diketahui benar, sehingga di pasaran luas, iluminasi Al – Qur’an selalu identik dengan corak Timur Tengah, saling tiru, dan miskin kreasi, padahal jenis buku yang umumnya dekat dengan ornamen adalah Al Qur’an, dan harus diakui, bahwa ornamen ini telah menjadi salah satu pertimbangan konsumen dalam bertransaksi. Upaya memperindah Al – Qur’an sayangnya tidak disertai proses kreasi dan apresiasi yang memadai.
Belum lagi jika kita bicara tentang ragam ukuran atau dimensi, serta hirarki ragam hias yang dikaitkan dengan struktur halaman dan tata urut dan kekhususan – kekhususan tertentu surah – surahnya ( ummul, Nisful, khatmul Qur’an ), tanda bacanya, judul dan keterangan surah, halaman maklumat, dan tanda tashih, hingga keterangan prinsip mengenai rasm, dan ayat jaminan, piagam – piagam, halaman muka ( cover ), punggung ( binding ), konsistensi jumlah baris, pembagian juz dan konsistensi jumlah halaman per-juz, manajemen hizb mana yang ¼, ½, ¾, dan mana yang 4/4, termasuk kecermatan menentukan letak sajdah pada naskah dan di luar naskah, letak waqaf lazim, dll.
Pendek kata di dalam Al Qur’an lah dapat kita temukan berbagai bentuk seni hias sebagai simbol, tanda, rambu yang amat tertib, disiplin, terukur, pasti, dan proporsional, yang semuanya diupayakan tampil sejelas dan seindah mungkin guna membimbing pembacanya ke arah kesempurnaan membaca ayat – ayat suci, sebagaimana juga kita lihat dan rasakan tanda baca dalam huruf, tulisan di dalam bahasa Arab.
Tanda adalah aturan, kaidah, hukum, yang jika keliru menempatkannya, akan menimbulkan kesalahan bunyi dan makna yang bersifat fatal.
Sudah selayaknya kita mulai mengapresiasi Al – Qur’an sebagaimana layaknya penuturan di atas. Di sinilah pokok setiap tujuan kajian, penelitian, dan pembuatan naskah Al – Qur’an yaitu optimalisasi peran di banyak kemajuan bidang keilmuan yang relevan ( crossovers ).
1 komentar:
Allahu akbar... Wilujeung Kang Nana sing lungsur-langsar forum na, Wasalam, Prof. DR. KH. Taofiqqullah (UIN SGD BDG)
Posting Komentar